85 A Huge Decision

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain. Dua hari setelah peluncuran iklan produk re-branding, kantor Nawang Wulan kembali sibuk. Semua petinggi divisi diminta menghadiri rapat evaluasi bersama CEO mereka yang baru, Arjuna Bagaskara Tamam Kartawijaya. Sebelum rapat dimulai, Arjuna mengumumkan bahwa Langit kembali menjabat sebagai chief marketing officer Nawang Wulan sementara posisi Bianca sebagai sekretaris CEO digantikan oleh Reynaldi. Kadita juga diminta hadir dalam rapat tersebut.

Rapat dimulai pukul setengah 4 sore dan berakhir saat bintang mulai berpendar di angkasa. Meski lelah, tetapi karyawan yang menghadiri rapat merasa puas akan kepemimpinan Arjuna sebagai CEO. Saran dan usulan yang mereka berikan dijadikan pertimbangan olehnya. Walaupun sempat terjadi perdebatan, tetapi berakhir solutif.

“Hampir jam delapan,” ujar Langit pada Kadita yang sedang mencangklong tas berukuran sedang.

“Makan dulu sempat tidak?”

“Di sana aja.”

Kadita mengangguk lalu berjalan meninggalkan kubikel yang sudah bersih dari semua barang miliknya. Setelah berunding dengan Langit dan sang ayah, Kadita pun mengambil keputusan besar dalam hidupnya. “Ayah di mana?”

Langit merogoh saku lalu mengambil ponsel. “Ketemu di sana,” jawabnya setelah melihat pesan yang terakhir dikirim sang ayah.

Setelah keduanya memasuki lift, benda berbentuk kotak itu melesat turun ke area parkir bawah tanah. Kemudian setelah pintu lift terbuka di lantai yang dituju, Kadita mengekori Langit menuju mobil SUV putihnya.

Langit menerima kunci mobilnya dari seorang petugas berbaju hitam di dekat pintu keluar. Kemudian dia membuka pintu penumpang untuk Kadita, menutupnya, berjalan memutar menuju pintu pengemudi, masuk ke mobil, mengenakan sabuk pengaman lalu menyalakan mesin kendaraannya. “Yakin gak ngasih tahu dia?”

Kadita menggeleng.

Mobil yang dikemudikan Langit melaju di jalanan padat ibukota. Kendaraan itu berjalan melewati daerah barat Jakarta dan berakhir di perbatasan Banten. Nyaris di sepanjang perjalanan, ponsel Kadita tidak berhenti berdering. Namun, sang pemilik mengabaikan panggilan itu.

“Angkat. Bentar lagi telpon gue yang berisik.” Benar saja, tak lama ponsel Langit berdering. “Arjuna tahu kalo gue biasa angkat telpon sambil nyetir.”

“Angkat saja.”

“Dia pasti nanyain kamu, Kadita.”

“Bilang tidak tahu.”

“Kamu bertengkar sama dia?”

“Tidak. Ini keputusanku untuk tidak mengatakan apa-apa sama dia.”

“Sorry, Sis. Gue gak bisa bohongin Arjuna. Dia bukan cuma sahabat, tapi atasan gue sekarang.” Langit menekan tombol bergambar telepon di dekat dasbor mobil lalu menekan earpod yang memang menyumbat manis telinganya. “Ya, Arjuna.”

“Kadita sama kamu?”

“Iya. Ada apa?”

Terdengar hembusan napas Arjuna. “Kalian udah di Teak?”